PERSOALAN masyarakat Kota Solo di Provinsi Jawa Tengah adalah genangan air hingga banjir akibat luapan air Bengawan Solo. Untuk menanggulangi masalah tersebut, PMI Kota Solo menilai perlu membangun opini dan meluaskan jaringan untuk mendapatkan dukungan dari pemangku kepentingan ataupun lembaga/instansi lain. Tujuannya agar program PMI Kota Solo dapat sukses terlaksana dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Advokasi menjadi kunci untuk menjaga keberlangsungan upaya pengurangan risiko yang telah dilaksanakan setelah program PMI Kota Solo selesai dilakukan.
Setelah menentukan tujuan atau target advokasi, PMI Kota Solo melakukan pendekatan dan menjabarkan gambaran umum program yang akan dilaksanakan kepada pemangku kepentingan. Dilanjutkan dengan proses penggalangan opini masyarakat dengan kegiatan sosialisasi pengurangan risiko bencana, dan melakukan pemetaan terhadap lembaga atau instansi yang akan diadvokasi. Untuk memperkuat jaringan, PMI Kota Solo selalu melaksanakan komunikasi dan koordinasi antarlembaga untuk meningkatkan hubungan baik.
Posko SIBAT
Membangun opini masyarakat mengenai keberadaan PMI dan program-program yang akan dilakukan menjadi proses yang paling menantang. Karena warga Solo adalah masyarakat perkotaan yang memiliki latar belakang berbeda-beda sehingga butuh waktu dan tenaga ekstra dalam proses pendekatannya.
Hasilnya, pemerintah di tingkat kelurahan di Kota Solo berkomitmen mendukung PMI, terutama dukungan atas kehadiran SIBAT di tengah masyarakat, antara lain dengan
memberikan posko sebagai pusat koordinasi SIBAT. SIBAT juga dilibatkan dalam musyawarah perencanaan dan pembangunan kelurahan (musrembangkel) sehingga program SIBAT mendapatkan dukungan anggaran untuk operasional setiap tahun.
Kehadiran SIBAT yang diakui oleh pemerintah juga mengubah persepsi masyarakat tentang PMI. Bila awalnya masyarakat hanya memahami PMI sebagai tempat transfusi darah, sekarang masyarakat memahami PMI bergerak di berbagai bidang, salah satunya pengurangan risiko bencana.
Perubahan pola pikir masyarakat tentang PMI mendorong relawan SIBAT meningkatkan program pengembangan kapasitas diri. Relawan SIBAT Kota Solo selalu meluangkan waktu untuk belajar dan mempraktikkan program-program pelatihan terkait pengurangan risiko bencana dan kegawatan, juga program pengembangan masyarakat lainnya. Seperti diungkapkan Budi, Tavip, dan Rus, relawan SIBAT Surakarta yang mengaku akan lebih mengutamakan belajar atau mengikuti pelatihan jika mendapatkan kesempatan. Tak mengherankan jika para relawan SIBAT 3S (Semanggi, Sangkrah, Sewu) sudah memiliki pandangan ke depan bahwa setelah melaksanakan program mereka akan melakukan apa lagi untuk langkah selanjutnya.
PMI berkomitmen menanam akar wangi sebagai penguat struktur tanah sepanjang tanggul Bengawan Solo. Kegiatan ini juga diadvokasikan agar mendapatkan dukungan Pemerintah Kota Surakarta. Di lain pihak saat ini PMI juga telah menyiapkan pembibitan yang didukung oleh pihak swasta. Koordinator Program Community Flood Resilience (CFR) PMI Kota Surakarta Wanto, menjelaskan, pohon yang berakar besar tidak diperbolehkan untuk ditanam di bantaran kali karena justru akan menahan laju air, sampah- sampah akan tersangkut di situ. Pada kondisi ini, potensi risiko banjir semakin tinggi, disamping akar-akar besar akan merusak tanggul. Solusinya adalah menanam tanaman berakar kuat, bisa mencengkeram tanah, dan membuat air tetap mengalir lancar. Dari keperluan itu muncullah usulan tanaman akar wangi. Tanaman ini akarnya bisa menancap hingga satu meter, sangat kuat mencengkeram tanah. Akar wangi ini juga direkomendasikan oleh Universitas Negeri Semarang dan PPWS Bengawan Solo sebagai tanaman pengikat tanah yang baik.
Selain menjaga risiko terjadinya erosi, akar wangi dapat meningkatkan potensi ekonomi masyarakat. Sebab, akarnya bisa menjadi bahan baku kerajinan. Ada macam-macam kerajinan yang bisa dihasilkan dari akar wangi dengan nilai jual tinggi. Selain itu, akar wangi menghasilkan minyak atsiri. Minyak atsiri biasa digunakan sebagai bahan dasar parfum yang harganya sangat mahal.
SIBAT PMI Juga melakukan advokasi ke Pemerintah Keluarahan dan mendorong agar diterbitkannya Peraturan Lurah untuk sumur resapan. Di tatanan Kota, PMI Kota Surakarta juga mendorong advokasi ke DLH dan Pemkot agar setiap membangun kantor kelurahan diwajibkan membuat sumur resapan minimal dua sumur dan sudah dilaksanakan di 52 kelurahan. DLH juga melakukan sosialisasi kepada warga dan pengusaha bahwa setiap bangunan diharuskan punya sumur resapan.
PMI Surakarta memulai pembangunan biopori dan sumur resapan di tiga titik di area kantor kelurahan dengan proyek percontohan tiga kelurahan: Semanggi, Sangkrah, dan Sewu. Untuk tiap area publik dibuatkan lubang biopori. Hasilnya, masyarakat mengakui sumur resapan membuat kualitas air jadi lebih baik. Akhirnya masyarakat di semua kelurahan di Kota Surakarta pun mengajukan permohonan untuk dibuatkan sumur resapan, selain biopori yang sudah ada di area publik.
Selain penanaman akar wangi, dalam upaya pengurangan risiko bencana di tengah area permukiman di Kota Solo, SIBAT Surakarta mengadvokasi warga dalam membuat sumur resapan dan biopori demi mengurangi risiko banjir. Untuk mendukung program ini, kelurahan sudah menyiapkan anggaran pembangunan sumur resapan melalui musrembangkel.
Pemerintah Kota Surakarta, melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH), juga telah memberikan edaran kepada kelurahan bahwa Khusus untuk wilayah Kelurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Rusjamaludin (52), salah satu ketua RT yang aktif sebagai relawan SIBAT, menjelaskan, kini masyarakat telah membangun 41 sumur resapan dan 3.300 lubang biopori di tiga kelurahan.
Sementara itu, Dinas Pertanian kota Surakarta, atas kerja sama dengan SIBAT juga, mengembangkan vertiminaponik di rumah-rumah warga sebagai upaya penyiapan ketahanan pangan jika bencana terjadi. Tingkat kepadatan penduduk Kota Solo sangat tinggi sehingga umumnya warga tidak memiliki lahan yang cukup untuk berkebun. Setelah melalui serangkaian studi, vertiminaponik menjadi pilihan.
Dengan lahan terbatas, diharapkan warga bisa mandiri memanfaatkan pekarangannya untuk berkebun agar bisa bertahan saat bencana tiba, bisa memulai pola hidup sehat, bisa memanfaatkan pupuk kompos, dan bisa berpenghasilan.
SIBAT Surakarta telah berhasil melahirkan 30 embrio Sibat dari 15 kelurahan di 5 Kecamatan. Jumadi, pelaksana program CFR PMI Kota Surakarta, menyebutkan, saat ini sudah terdapat 5 kecamatan dan 51 kelurahan yang meminta agar dibuatkan surat keputusan (SK) pendirian SIBAT dan peraturan kelurahan tentang pengurangan risiko kebencanaan. Jatah bulan November 2017 untuk Kecamatan Pasar Kliwon yang diikuti oleh tiga kelurahan: Kedung Lumbu, Pasar Kliwon, dan Joyosuran. Pada Desember 2017, SK dibuatkan untuk Kecamatan Lawean, terdiri atas kelurahan Bumi, Lawean, Pajang, dan Sondaan. “Dari Kecamatan Jebres SK dibuatkan untuk Kelurahan Pucang Sawit,” ungkap Jumadi.
Di tiap kelurahan Sibat rata-rata diikuti oleh 15 orang. Khusus Kelurahan Pucang Sawit yang ikut mencapai 70 orang, dari usia yang berbeda-beda. Camat Jebres meminta agar Sibat dibentuk di semua kelurahan agar SIBAT bisa menjadi inisiator masyarakat untuk pengurangan risiko kebencanaan. “Lurah juga akan membuat SK dan memasukkan Sibat sebagai daftar gerakan masyarakat dalam musrembangkel agar mendapatkan dana kegiatan yang sumbernya dari DPK (dana pembangunan kelurahan),” imbuh Jumadi.
PMI Surakarta telah menunjukkan upaya serius dalam pengelolaan risiko bencana yang terpadu, dan memulai advokasi dengan pemerintah di tingkat kelurahan dan kecamatan. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan kegiatan- kegiatan pengurangan risiko bencana yang telah dilakukan tidak berhenti dan terus berlanjut walaupun dukungan dari pihak donor telah berkurang ataupun berhenti suatu hari nanti.*